Langsung ke konten utama

Koh Steven, Mualaf yang Jual Semua Harta demi Tangani Corona



Seorang mualaf menjual hampir seluruh hartanya untuk membantu menangani dampak pandemi wabah corona atau Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia. Dia adalah Steven Indra Wibowo, pendiri sekaligus ketua Mualaf Center Indonesia

Bagi Koh Steven, sapaan akrabnya, harta hanyalah titipan Allah SWT dan yang namanya titipan pasti akan kembali. Maka hanya ada dua, kembali dalam keadaan dipaksa karena suatu musibah dan sebagainya atau mengembalikannya dalam bentuk sedekah.

"Saya memilih mengembalikan ini dengan cara yang baik. Ini harta pinjaman dari Allah, saya cuma ingin balikin, momennya sekarang lagi bagus. Ya sudah aku balikin aja. Karena cepat atau lambat itu akan kembali, dan akan Allah minta pertanggungjawaban," kata dia kepada Republika.co.id.

Koh Steven menjelaskan, Rasulullah SAW pun pernah memperingatkan orang-orang, bahwa ada dua hal yang tidak disukai anak Adam. Pertama, kematian, padahal ini lebih baik daripada fitnah.

Kedua, adalah kefakiran atau kemiskinan. Padahal dengan sedikitnya harta, maka sedikit pula yang dihisab pada hari akhir nanti.

"Aku berpatokan pada hal itu saja, ya sudahlah ini balikin saja. Dulu waktu saya mualaf juga dibikin miskin kok. Dan Allah bisa bikin saya seperti sampai kemarin. Tidak akan sulit bagi Allah  mengembalikanku ke posisi kemarin. Yang penting kan tauhidnya kita, yakin Allah akan cukupin itu semua," katanya.

Koh Steven telah menjual dua rumah, tujuh mobil, tiga motor gede alias moge miliknya. Harta yang tersisa kini tinggal satu rumah di Salatiga, yang masih menunggu pemilik barunya.

"Sisa satu rumah ini, yang lagi ditawarin, dan satu motor Beat yang saya pakai," katanya.

Selama dua bulan belakangan, Koh Steven tinggal di Yogyakarta di sebuah rumah kontrakan bersama tim yang terdiri dari 11 orang. Sedangkan istrinya berada di Bandung tinggal bersama orang tuanya.

"Istri saya numpang di rumah mertuaku. Aku di Yogyakarta sudah dari Februari, jadi memang sudah prepare (bersiap)," ucapnya.

Dengan dana yang dia miliki, Koh Steven telah memproduksi 48 ribu pakaian hazmat untuk dibagikan secara gratis ke 4.781 fasilitas kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Fasilitas kesehatan dimaksud meliputi rumah sakit umum daerah, rumah sakit swasta, hingga puskesmas.

"Sampai ke tempat pemakaman umum kita kirim hazmat juga, untuk mereka yang memakamkan korban meninggal. Dan yang boleh minta itu hanya fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan yang resmi. Dokter dan perawat yang resmi," ujarnya.

Selain memproduksi hazmat, Koh Steven juga telah memasang surgical gown ke 43 ribu pakaian Alat Pelindung Diri (APD) sumbangan yang diterima banyak rumah sakit. Surgical gown ini dipasang karena APD sumbangan tersebut belum berstandar WHO.

"Daripada tidak bisa dipakai, mereka minta memasang surgical gown di bagian dalam hazmat, supaya di bagian yang dijahit itu jika virus masuk maka ditahan surgical gown. Karena kan tidak boleh dijahit, agar tidak tembus," tuturnya.

Sebelum memproduksi hazmat, Koh Steven terlebih dulu memproduksi masker. Total masker yang telah diproduksi dan dibagikan secara gratis sebanyak 150 ribu masker, 12 ribu di antaranya merupakan masker N95 yang tujuh lapis dan sisanya masker medis tiga lapis.

Saat ini, pun dia sedang memproduksi 60 ribu masker medis dan 8.000 masker N95. "Setelah masker, baru ke (memproduksi) hazmat, tetapi saat itu butuh uang lagi, lalu saya jual mobil satu per satu," ujar dia.

Total nilai uang yang telah Koh Steven gelontorkan untuk memproduksi APD berstandar WHO, memasang surgical gown pada APD, dan masker mencapai Rp 11,2 miliar. "Kalau sama mesin (beli impor untuk produksi) itu sekitar Rp 12,8 miliar," kata dia.

Tak hanya hazmat dan masker, Koh Steven juga membagikan gratis total 80 ribu liter hand sanitizer, ribuan paket sembako dan makanan siap saji. Hingga kini total paket sembako yang telah dibagikan sebanyak 120 ribu paket. Sedangkan total paket makanan siap santap yang dibagikan gratis ke seluruh Indonesia, 560 ribu paket.

"Di tiap wilayah aku menggerakkan warung makan lokal termasuk juga tempat fast food. Aku bagikan bukan hanya untuk Muslim saja, tetapi semua yang lapar kita kasih," jelasnya.

Koh Steven melalui Yayasan Mualaf Center Indonesia, juga membuka donasi bagi siapa pun yang ingin membantu. Untuk donasi, bisa dikirimkan ke Bank BTN Cabang Depok nomor rekening 0025-4015-0001-7445 atas nama Yayasan Mualaf Center Indonesia.

Hingga kini, total donasi yang terkumpul sudah sebesar Rp 480 juta. Jumlah ini bisa membantu orang-orang yang membutuhkan makanan.

Apalagi dana yang dia miliki pun kian menipis. Dia berharap langkahnya dapat diikuti oleh banyak orang. Semula makanan siap saji yang dikirim itu bisa 2.000 paket sehari, tetapi kini berkurang menjadi 700 atau 1.000.

Paket sembako yang dikirim juga tidak sebanyak sebelumnya, karena kini hanya 200-300 paket sembako yang dikirim tiap hari. Total dana yang dihabiskan per hari untuk sembako dan makanan siap santap sebesar Rp 50 juta.

"Aku berharap gerakan ini diduplikasi oleh orang lain, karena kapasitasku ini akan berakhir, pasti ada ujungnya. Dan ini akan menjadi panjang dan lama. Orang lapar pasti ada terus," ujarnya.

Koh Steven juga buka-bukaan soal mengapa dia memahami pakaian hazmat yang berstandar WHO. Dia bekerja di sebuah perusahaan riset di Singapura, yang salah satu kliennya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan WHO menjadi subklien. Perusahaan riset sosial ini mengurus soal peredaran obat dan kadar gizi buruk di beberapa negara.

Pada Januari 2020, Koh Steven dan rekan kerjanya yang lain rapat bersama WHO. Saat itu disebutkan mengenai virus yang akan menjadi pandemi global, dan hanya soal waktu kapan WHO mengeluarkan pernyataan.

Semula Koh Steven mengira virus ini seperti MERS sehingga yang dibutuhkan hanya masker. Ia pun mencoba memproduksi masker sendiri dengan mengimpor alat produksi dan bahan untuk dibagikan gratis. Total biaya saat itu habis sekitar Rp 500 juta.

"Tetapi ternyata penyakit ini naik. Terus aku coba cek tenaga medis, ternyata Indonesia sudah mengekspor hazmat atau APD-APD cukup banyak. Ya sudah, bikin hazmat. Beli alat-alatnya dari Guangzhou, China, dari sana dikirim ke Taiwan lalu ke Singapura lalu ke Indonesia," ucap dia.

Untuk bahan, Koh Steven mengimpor dari Jepang. Bahannya terbilang bagus dan tidak terlalu mahal. Koh Steven kemudian belajar dari teman-teman di WHO tentang caranya sanitizing, sterilisasi, dan bagaimana memasukkannya ke dalam bahan.

"Terus (belajar tentang) UV segala macam, beli UV Chamber, bikin ruangannya khusus untuk sterilisasi. Alhamdulillah, ya sudah akhirnya mencetak sendiri dulu," kata dia.

Kini, ada 70 lebih penjahit yang membantu memproduksi ribuan hazmat. Mesin-mesin jahit yang diimpor itu ditaruh di rumah si penjahit agar mudah dikerjakan. Koh Steven menanggung biaya listrik rumah, termasuk juga membayar puluhan penjahit tersebut. Para penjahit ini bekerja lebih dari 12 jam dan ongkos lemburnya tidak dibayar.

"Aku bilang dari awal ke mereka, ini untuk didonasikan, buat berkhidmat. Kata mereka nggak apa-apa, sekalian beramal. Mereka dibayar normal, tetapi lemburannya tidak dibayar," katanya.

Koh Steven memastikan pakaian hazmat yang diproduksi tersebut sudah berstandar WHO. "Karena aku belajar dari situ. Aku tidak jual, aku tidak mencari cuan (uang) tidak mencari untung. Jadi produksi seaman mungkin, dan aku bagikan gratis," ujarnya.

di sadur dari portal REPUBLIKA.CO.ID



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kagumi Ibadah Shalat, Don Trammell Akhirnya Memeluk Islam

“Perjalananku menuju Islam cukup berbelit. Namun pada akhirnya, itu membawaku pada penantian kasih sayang Allah,” ujar Don Trammell, memulai kisahnya menuju hidayah. Perjalanan Don hingga memeluk Islam membutuhkan waktu yang tak singkat. Prosesnya cukup panjang dengan awal mula ketika ia bertugas ke Kairo di Mesir. Di sana pula Don mendapat banyak teman muslim yang membantunya hingga akhirnya melabuhkan hatinya pada dienullah. Namun sebenarnya, kontak Jon dengan Islam kali pertama telah terjadi sebelum ia pindah ke negeri Piramid. Saat itu Don tengah bekerja di Finlandia, sekitar tahun 1999. Ketika bekerja di sebuah perusahaan software, ia bertemu dengan seorang wanita Mesir. Keduanya berkenaan lewat chat dan memiliki keperluan diskusi membahas mengenai teknologi nirkabel. Selama membahas teknologi nirkabel, Don banyak menyela diskusi mengenai agama. Ia bertanya banyak hal mengenai agama yang dianut wanita Mesir itu, Islam. “Sepanjang percakapan kami , aku

Susan Carland, Saya Mencintai Islam dan Muslim Tanpa Keraguan

Kisah nyata ini ramai diberitakan sejak tahun 2011, bagaimana seorang gadis belia berumur 17 tahun, Susan Carland asal Australia mencari kebenaran selain agama kristen yg dianutnya sejak kecil. Semua agama ia pelajari, hingga agama Islamlah yang tersisa untuk dipelajari. Ia melakukan banyak diskusi chatting di internet dengan beberapa Muslimah. Kesan pertama dari para Muslimah yang dikenalnya adalah bahwa mereka adalah orang yang sangat mengagumkan dan luar biasa. “Mereka dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan saya” kata Susan. Ia juga merasakan kebebasan intelektual. Ketika Susan ungkapkan kepada Ibunya bahwa ia melakukan sebuah resolusi agama pada dirinya, ibunda Susan mengatakan  “menikahlah dengan siapa saja bahkan seorang bandar narkoba sekalipun, asal bukan seorang Muslim ”. Dua tahun kemudian pada usia 19 thn, Susan menyatakan diri beragama Islam. Suatu malam ibunda Susan membuat makan malam daging babi iris. Susan mengatakan bahwa ia tidak akan lagi memakanny